Membedah Ritualitas Maulid Nabi Antara Formalitas Dan Napak Tilas

Membedah Ritualitas Maulid Nabi Antara Formalitas Dan Napak Tilas
Oleh : Mastur,Mpd

Pendahuluan
Setiap tanggal 12 Rabiul Awal mayoritas kaum muslimin di belahan dunia - termasuk Indonesia- memperingati hari lahirnya Nabi Agung, Nabi akhir zaman Nabi Muhammad Sahallahu ‘alai wasalalam . Tetapi ada beberapa kelompok yang menganggap bahwa peringatan Maulid Nabi ini adalah merupakan perbuatan Bid’ah. Dan pelakunya tergolong sebagai ahli bid’ah yang dicela oleh Nabi. Mereka menganggap bahwasanya semua bid’ah adalah sesat. Tidak ada yang namanya bid’ah hasanah. Mereka memahami hadits nabi:
كل بدعة ضلالة
apa adanya. Sehingga mereka memandang setiap perkara yang tidak pernah dilakukan Nabi(bid’ah dalam pandangan mereka) adalah sesat. Termasuk peringatan Maulid Nabi. Maka tidak heran kalau mereka sangat anti terhadap peringatan Maulid Nabi, baik melalui mimbar-mimbar podium ataupun lewat media dan buku.
Sebenarnya bagaimana pandangan syareat tentang peringatan maulid nabi ini.
1. Bid’ah dan macam-macamnya
Sebelum kita membahas tentang peringatan Maulid, kita perlu membahas tentang bid’ah dan macam-macamnya karena pokok permasalahannya adalah pada masalah ini. Para penentang maulid menentang peringatan Maulid karena mereka melihat perayaan maulid adalah bid’ah. Maka dari kita harus memahami duduk permasalahnnya dengan benar.
a. Pengertian Bid'ah
Bid'ah dalam arti bahasa adalah sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya. Sedangkan dalam pengertian syara’ adalah sesuatu yang baru yang tidak terdapat landasan hukumnya secara eksplisit (tertulis) dalam al Qur'an maupun hadits.

b. Pembagian Bid'ah
Bid'ah terbagi menjadi dua bagian, sebagaimana dipahami dari hadits 'Aisyah –semoga Allah meridlainya- ia berkata : Rasulullah r bersabda :

"من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد"

Maknanya : "Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari'at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak".
Bagian pertama : Bid'ah Hasanah, juga dinamakan Sunnah Hasanah yaitu sesuatu yang baharu yang sejalan dengan al Qur'an dan Sunnah.
Bagian kedua : Bid'ah Sayyi-ah, juga dinamakan Sunnah Sayyi-ah yaitu sesuatu yang baharu yang menyalahi al Qur'an dan Sunnah.
Pembagian bid'ah ini juga dapat dipahami dari hadits Jarir ibn 'Abdillah al Bajali, ia berkata : Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda :

"من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص أجورهم شىء،ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزرمن عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزورهم شىء" (رواه مسلم)

Maknanya : "Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatan tersebut juga pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang sedikitpun pahala mereka, dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatan tersebut juga dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dosa-dosa mereka sedikitpun" (H.R. muslim)
Berdasarkan dalil-dalil diatas maka Imam Syafi'i –semoga Allah meridlainya- berkata :

"المحدثات من الأمور ضربان، ماأحدث مما يخالف كتابا أو سنة أو إجماعا أو أثرا فهذه البدعة الضلالة، والثانية ما أحدث من الخير و لا يخالف كتابا أو سنة أو إجماعا وهذه محدثة غير مذمومة"

"Perkara yang baru terbagi menjadi dua bagian. Pertama sesuatu yang menyalahi al Qur'an, Sunnah, Ijma' atau Atsar (apa yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkari), inilah bid'ah yang sesat. Kedua perkara yang baru yang baik dan tidak menyalahi al Qur'an, Sunnah, maupun Ijma', inilah sesuatu yang baru yang tidak tercela ". (Diriwayatkan oleh al Bayhaqi dengan sanad yang sahih dalam kitabnya Manaqib asy-Syafi'i.)

c. Contoh-contoh Bid'ah
1. Bid’ah Hasanah:
a. Peringatan maulid Nabi shallallahu 'alayhi wasallam di bulan Rabi'ul awwal. Orang yang pertama kali mengadakannya adalah raja al Muzhaffar penguasa Irbil pada abad 7 hijriyah.
b. Pembuatan titik-titik dalam (huruf-huruf) al Qur'an oleh Yahya bin Ya'mur, salah seorang tabi'in yang agung. Beliau adalah seorang yang alim dan bertaqwa, perbuatan beliau ini disepakati oleh para ulama dari kalangan ahli hadits dan lainnya, mereka menganggap baik hal ini sekalipun mushhaf tersebut tidak memakai titik saat Rasulullah mendiktekannya kepada para penulis wahyu. Begitu pula ketika 'Utsman bin 'Affan menyalin dan menggandakan mushhaf menjadi lima atau enam naskah tidak ada titk-titik (pada huruf-hurufnya). Sejak saat pemberian titik oleh Yahya bin Ya'mur itulah semua umat Islam hingga kini selalu memakai titik dalam penulisan huruf-huruf al Qur'an. Apakah mungkin hal ini dikatakan sebagai bid'ah sesat sebab Rasulullah tidak pernah melakukannya ?!. Jika demikian halnya maka hendaklah mereka meninggalkan mushhaf-mushhaf tersebut dan menghilangkan titik-titiknya seperti pada masa Utsman. Abu Bakr bin Abu Dawud, anak penulis kitab Sunan, dalam kitabnya al Mashahif berkata: "orang yang pertama kali membuat titik dalam Mushhaf adalah Yahya bin Ya'mur". Yahya bin Ya'mur adalah salah seorang ulama tabi'in yang meriwayatkan (hadits) dari sahabat Abdullah bin umar dan lainnya.

2. Bid’ah Sayyi’ah:
a. hal-hal yang baharu dalam masalah aqidah, seperti bid'ahnya golongan Mu'tazilah, Khawarij dan mereka yang menyalahi apa yang telah menjadi keyakinan para sahabat nabi.
b. Contoh lainnya dalam masalah furu' ( bid'ah sayyi'ah 'amaliah) seperti penulisan shad (ص) setelah nama Nabi sebagai pengganti shallahu 'alayhi wasallam صلى الله عليه وسلم. Padahal para ahli hadits telah menegaskan dalam kitab-kitab Mushthalah al Hadits bahwa menuliskan shad (ص) saja setelah penulisan nama Nabi adalah makruh, namun begitu mereka tidak sampai mengharamkannya. Dengan demikian bagaimana bisa orang-orang yang suka membuat kegaduhan itu mengatakan bahwa perayaan maulid Nabi adalah bid'ah yang diharamkan dan bahwa bershalawat atas Nabi dengan suara yang keras setelah adzan adalah bid'ah yang diharamkan, dengan alasan bahwa Rasulullah dan atau para sahabatnya tidak pernah melakukannya ?!.
c. Termasuk bid'ah sayyi-ah juga merubah nama Allah (الله) menjadi "Aah" (ءاه) atau sejenisnya yang dilakukan oleh banyak orang dari mereka yang mengaku-ngaku sebagai pengikut tarekat, ini adalah bid'ah yang diharamkan.

2. Sejarah Peringatan Maulid Nabi
Al-Imam al-Suyuthi dalam riasalahnya yang bernama Husnul Maqshid Fi ‘Amalil Maulid mengatakan bahwa Perayaan hari kelahiran (maulid) Nabi baru terjadi pada permulaan abad keenam Hijriah. Para sejarawan sepakat bahwa yang pertama kali mengadakannya adalah Raja Irbil di Iraq, yang dikenal alim, bertakwa dan pemberani, yaitu Raja al-Muzhaffar Abu Sa’id Kaukabri bin Zainuddin Ali Buktikin (w. 630 H/1232 M). Dalam perayaan itu diundang para ulama’ dari berbagai disiplin ilmu, baik dari ahli hadits, fiqh, tafsir, nahwu, para sufi dan lain sebaginya. Dalam perayaan itu juga disembelih lima ribu ekor kambing, sepuluh ribu ekor ayam, seratus ekor kuda. Dan juga dihidangkan seratus ribu makanan dari keju dan tiga puluh ribu piring berisi kue dan manisan.
3. Peringatan Maulid Nabi Adalah bid’ah Hasanah
Peringatan Maulid Nabi memang tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan juga para sahabat. Oleh karenanya peringatan ini bisa dikatakan dan dikatagorikan sebagai perbuatan bid’ah. Namun karena dalam peringatan ini tidak ada yang bertentangan dengan syareat baik al-qur’an maupun hadits maka Para ulama baik dari kalangan shufi, fuqaha dan ahli hadits menilai perayaan maulid ini termasuk bid’ah hasanah, yang dapat memberikan pahala bagi yang melakukannya. Di antara ulama yang menilai perayaan maulid sebagai bid’ah hasanah adalah al-Hafizh Ibn al-Jauzi al-Hanbali, al-Hafizh Ibn Dihyah, al-Hafizh Abu Syamah (guru al-Imam al-Nawawi), al-Hafizh Ibn Katsir, al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafizh al-Sakhawi, al-Hafizh al-Suyuthi dan lain-lain.
4. Dalil diperbolehkannya Peringtan Maulid
Setidaknya ada beberapa dalil agama dari al-Qur'an dan sunnah yang membenarkan perayaan maulid Nabi SAW. Allah SWT berfirman:
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. al-Anbiya’ : 107)
Dan Rasulullah SAW telah bersabda:
“Aku hanyalah rahmat yang dihadiahkan”. (Hadits sahih menurut al-Hakim (1/91) dan al-Hafizh al-Dzahabi.
Ayat al-Qur'an di atas dan hadits di bawahnya menunjukkan bahwa Rasulullah SAW adalah al-rahmat al-‘uzhma (rahmat yang paling agung) bagi umat manusia. Sedangkan Allah SWT telah merestui kita untuk merayakan lahirnya rahmat itu. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
“Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira”. (QS. Yunus : 58).
Ayat ini memerintahkan kita agar bergembira dengan karunia dan rahmat yang diberikan Allah kepada kita. Sudah barang tentu, lahirnya Nabi SAW ke dunia, adalah rahmat yang paling besar bagi kita, sehingga sangat layak untuk dirayakan. Ibn Abbas ketika menafsirkan ayat di atas mengatakan, “Dengan karunia Allah (yaitu ilmu) dan rahmat-Nya (yaitu Muhammad SAW), hendaklah dengan itu mereka bergembira”. (Al-Hafizh al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, 2/308).
Allah SWT juga berfirman:
“Dan semua kisah dari rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu.” (QS. Hud : 120).
Ayat ini menegaskan bahwa penyajian kisah-kisah para rasul dalam al-Qur’an adalah untuk meneguhkan hati Nabi SAW.Dan tentu saja kita yang dha’if dewasa ini lebih membutuhkan peneguhan hati dari pada beliau SAW, melalui penyajian sirah dan biografi beliau SAW.
Sisi lain dari perayaan maulid Nabi SAW adalah, mendorong kita untuk memperbanyak shalawat dan salam kepada beliau sesuai dengan firman Allah:
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. al-Ahzab : 56).
Dan sesuai dengan kaedah yang telah ditetapkan, bahwa sarana yang dapat mengantar pada anjuran agama, sehingga perayaan maulid menjadi dianjurkan.
Allah SWT juga berfirman:
“Isa putera Maryam berdoa: “Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezkilah kami, dan Engkaulah pemberi rezki yang paling Utama”. (QS. al-Ma’idah: 114).
Dalam ayat ini, ditegaskan bahwa turunnya hidangan dianggap sebagai hari raya bagi orang-orang yang bersama Nabi Isa AS dan orang-orang yang datang sesudah beliau di bumi agar mengekspresikan kegembiraan dengannya. Tentu saja lahirnya Rasulullah SAW sebagai al-rahmat al-‘uzhma lebih layak kita rayakan dengan penuh suka cita dari pada hidangan itu. Ibn Taimiyah mengatakan:
“Mengagungkan maulid dan menjadikannya sebagai hari raya setiap musim, dilakukan oleh sebagian orang, dan ia akan memperoleh pahala yang sangat besar dengan melakukannya karena niatnya yang baik dan karena mengagungkan Rasulullah SAW sebagaimana telah aku sampaikan.” (Ibn Taimiyah, Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, hal. 297).
Sebagian ulama ada yang menyebutkan, bahwa orang yang merayakan maulid Nabi SAW, akan diberi keselamatan, keamanan selama satu tahun dan hajatnya akan selalu terkabul. Wallahu a'lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAHA SUCI ALLAH DARI TEMPAT, ARAH, BENTUK DAN UKURAN (HADD)

KISAH PERTEMUAN KH. KHOLILURRAHMAN (RA LILUR – CICIT MBAH KHOLIL BANGKALAN MADURA) DENGAN GURU MULIA, PROF. DR. AL-HABIB AL-SYAIKH SALIM ‘ALWAN AL-HUSAINI (KETUA DARUL FATWA AUSTRALIA)