Hak Allah yang paling Agung atas para hamba-Nya
بسم الله الرحمن
الرحيم
A'ZHAM HUQUQILLAH 'ALA 'IBAADIHI[1]
(Hak Allah yang paling Agung atas
para hamba-Nya)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi
wasallam bersabda:
"حق
الله على العباد أن يعبدوه ولا يشركوا به شيئا" (رواه الشيخان)
Maknanya: “Hak Allah atas para hamba adalah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatupun” (H.R. al Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa hak Allah yang paling agung atas para
hamba-Nya adalah agar mereka men-tauhid-kan-Nya;
menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya (Syirik) dengan sesuatu-pun.
Tauhid
(التوحيد ) adalah mashdar dari
وحد يوحد :
mengesakan. Jika dikatakan وحدت الله maksudnya adalah اعتقدته منفردا بذاته وصفاته لا نظيـر له ولا
شبيه ; engkau meyakini bahwa Allah esa pada Dzat
dan sifat-sifat-Nya, tidak ada bandingan dan serupa bagi-Nya atau علمتـه واحدا ;
engkau mengetahui-Nya esa. Tauhid juga diartikan sebagai الإيمـان بالله وحـده لا شريك له ; beriman kepada Allah saja, tiada sekutu
bagi-Nya dalam ketuhanan. Jadi beriman kepada Allah
dengan cara yang benar itulah yang dinamakan tauhid. Karenanya pengajaran
tentang beriman kepada Allah dengan cara yang benar menjadi prioritas Ta'lim
Nabi shallallahu 'alayhi wasallam, sebagaimana dikatakan sahabat Ibn 'Umar dan sahabat Jundub:
"كُنَّا وَنَحْنُ فِتْيَانٌ حَزَاوِرَةٌ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ تَعَلّمْنَا الإيْمَانَ وَلَمْ نَتَعَلّمِ
القرْءَانَ ثُمَّ تَعَلَّمْنَا القُرْءَانَ فَازْدَدْنَا بِهِ إيْمَانًا"
(رَوَاهُ ابن ماجه وصححه الحافظ البُوْصِيْرِيّ)
Maknanya: “Kami –selagi remaja saat mendekati baligh- bersama
Rasulullah mempelajari iman (tauhid) dan belum mepelajari al-Qur’an. Kemudian
kami mempelajari al-Qur’an maka bertambahlah keimanan kami". (H.R.
Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Hafizh al-Bushiri).
Abu Hanifah menamakan ilmu ini
dengan al-Fiqh al-Akbar. Ini artinya
mempelajari ilmu ini harus lebih didahulukan dari mempelajari ilmu-ilmu
lainnya. Setelah cukup mempelajari ilmu ini baru disusul dengan ilmu-ilmu yang
lain.
Definisi Tauhid
Al Hafizh Ibnu Hajar menyatakan:
" وأما أهل السنة ففسروا التوحيد
بنفي التشبيه والتعطيل ".
"Sedangkan Ahlussunnah menafsirkan
bahwa tauhid adalah menafikan tasybih (keyakinan yang menyerupakan Allah
dengan makhluk-Nya) dan ta'thil (keyakinan yang menafikan adanya Allah
atau salah satu sifat-Nya)".
Jadi tauhid dalam penafsiran Ahlussunnah
adalah meyakini bahwa Allah ada dan memiliki sifat-sifat yang tidak menyerupai
sifat-sifat makhluk-Nya, Allah esa pada Dzat, sifat dan perbuatan-Nya. Imam al Junaid al Baghdadi berkata:
"التوحيد
إفراد القديم من المحدث" (رواه
الخطيب البغدادي وغيـره)
“Tauhid adalah mensucikan (Allah)
yang tidak mempunyai permulaan dari menyerupai makhluk-Nya” (diriwayatkan
oleh al Hafizh al Khathib al Baghdadi)
Dan inilah makna
nama Allah al Ahad dan al Wahid. Al Imam al Halimi mengatakan : الأحد هو الذي لا
شبيه له ولا نظيـر ، كما أن الواحد هو الذي لا شريك له ولا عديد ; al
Ahad ialah yang tiada serupa dan bandingan bagi-Nya, sebagaimana al
Wahid maknanya adalah yang tiada sekutu bagi-Nya dan tiada yang menduai –Nya (dalam ketuhanan). Imam Abu
Hanifah berkata :
"والله واحد لا من طريق العدد ولكن من طريق
أنه لاشريك له".
"Allah satu bukan dari segi bilangan tetapi dari segi bahwa tidak ada
sekutu bagi-Nya".
Al Ahad juga ditafsirkan yaitu yang tidak menerima pembagian,
yakni bukan jisim karena secara akal jisim (benda) bisa dibagi-bagi,
sedangkan Allah bukanlah jisim. Allah berfirman ketika mencela orang-orang
kafir:
) وجعلوا له من عباده جزءا( (سورة الزخرف : 15)
Maknanya: "Dan mereka
(orang-orang kafir) menjadikan sebahagian dari hamba-hamba-Nya sebagai bahagian
dari pada-Nya" (Q.S.
az-Zukhruf : 15)
al Imam Abu Hasan al Asy'ari berkata dalam kitab an-
Nawadir :
"
من اعتقد أن الله جسم فهو غير عارف بربه وإنه كافر به ".
"Barang
siapa yang meyakini bahwa Allah adalah jisim maka dia tidak tahu tentang
tuhannya dan sesungguhnya dia kafir terhadap-nya".
Ini semua adalah bantahan
terhadap orang-orang yang membagi tauhid menjadi tiga macam; Tauhid Uluhiyyah, Tauhid Rububiyyah dan Tauhid al
Asma' wa ash-Shifat. Pembagian tauhid yang digagas oleh Ibnu Taimiyah dan diikuti
oleh para pengikutnya ini menyalahi Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Maksud dan
tujuan dari pembagian ini adalah untuk mengkafirkan orang-orang mukmin yang
bertawassul dengan para nabi dan orang-orang shalih, mengkafirkan orang-orang
mukmin yang mentakwil ayat-ayat yang mengandung sifat-sifat Allah dan
mengembalikan penafsirannya kepada ayat-ayat muhkamat. Ini berarti
pengkafiran terhadap Ahlussunnah Wal
Jama’ah yang merupakan kelompok mayoritas di kalangan umat Muhammad.
Dikatakan kepada mereka : Siapakah di
antara ulama' salaf yang membagi tauhid menjadi tiga ini ? Jawabannya: tidak
ada. Apakah ummat Islam seluruhnya tidak memahami لا إله إلا الله sebelum munculnya Ibnu Taimiyah !!! lalu apa
komentar Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya terhadap para sahabat, tabi'in dan
para ulama salaf yang melakukan takwil terhadap ayat-ayat sifat !!!
Terakhir,
sebagian ulama Ahlussunnah mengatakan :
من أعطي الايمان ولم يعط الدّنيا فكأنّما ما منع شيئا ، ومن أعطي الدّنيا
ولم يعط الايمان فكأنّما لم يعط شيئا
"Barang siapa diberi (oleh Allah) keimanan, dan
ia tidak diberi dunia (harta benda) maka seolah-olah ia tidak tercegah untuk
mendapatkan apapun (karena ia akan masuk surga dengan keimanannya tersebut).
Dan barang siapa diberi dunia dan tidak diberi keimanan maka seolah-olah ia
tidak diberi apapun (karena bila mati nanti ia akan meninggalkan harta bendanya
tersebut dan akan masuk neraka serta kekal di dalamnya selamanya)".
Wabillah
at-Tawfiq wa al 'Ishmah.
Komentar
Posting Komentar