AYAT-AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT
By. Syahamah
Untuk
memahami tema ini sebagaimana mestinya, harus diketahui terlebih dahulu bahwa
di dalam Al Qur'an terdapat ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat.
Allah ta'ala berfirman :
]
هُوَ
الَّذِيْ أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ
وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَـأَمَّا الَّذِيْنَ فِي قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ
مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِـغَاءَ الْفِـتْنَةِ وَابْتِـغَاءَ تَأْوِيْلِهِ وَمَا يَعْلَمُ
تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ ءَامَنَّا
بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوْا اْلأَلْبَابِ [ (ءال
عمران : 7)
Maknanya
: "Dia-lah yang menurunkan Al Kitab
(Al Qur'an) kepada Muhammad. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat muhkamat, itulah
Umm Al Qur'an (yang dikembalikan dan disesuaikan pemaknaan ayat-ayat al Qur'an
dengannya) dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,
maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan
untuk mencari-cari takwilnya sesuai dengan hawa nafsunya, padahal tidak ada
yang mengetahui takwilnya (seperti saat tibanya kiamat) melainkan Allah serta orang-orang yang
mendalam ilmunya mengatakan : "kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami". Dan tidak dapat
mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal" (Q.S. Al Imran : 7)
I.
Definisi Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat
Ayat-ayat Muhkamat : ayat yang dari sisi kebahasaan
memiliki satu makna saja dan tidak memungkinkan untuk ditakwil ke makna lain.
Atau ayat yang diketahui dengan jelas makna dan maksudnya. Seperti firman Allah
:
﴿ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ ﴾ (سورة الشورى: ۱۱)
Maknanya: “Dia (Allah)
tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua
segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)”. (Q.S. asy-Syura: 11)
﴿ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا
أَحَدٌ ﴾ (سورة
الإخلاص :4)
Maknanya: “Dia (Allah)
tidak ada
satupun yang menyekutui-Nya”. (Q.S. al Ikhlash : 4) ﴿ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ
سَمِيًّا ﴾ (سورة
مريم :65)
Maknanya: “Allah
tidak ada serupa bagi-Nya”. (Q.S. Maryam : 65) Ayat-ayat Mutasyabihat : ayat yang belum jelas maknanya. Atau yang memiliki banyak kemungkinan
makna dan pemahaman sehingga perlu direnungkan agar diperoleh pemaknaan yang
tepat yang sesuai dengan ayat-ayat muhkamat. Seperti firman Allah :
﴿ الرّحْمٰنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى ﴾ (سورة طه :5)
Penafsiran
terhadap ayat-ayat mutasyabihat harus
dikembalikan kepada ayat-ayat muhkamat. Ini jika
memang berkait dengan ayat-ayat mutasyabihat
yang mungkin diketahui oleh para ulama. Sedangkan mutasyabih (hal yang tidak diketahui
oleh kita) yang dimaksud dalam ayat
﴿ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ
﴾ (سورة ءال عمران : 7)
Menurut
bacaan waqaf pada lafazh al Jalalah الله adalah
seperti saat kiamat tiba, waktu pasti munculnya Dajjal, dan bukan mutasyabih yang seperti
ayat tentang istiwa')
Q.S. Thaha : 5). Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda :
" اعْمَلُوْا بِمُحْكَمِهِ وَءَامِنُوْا بِمُتَشَابِهِهِ" (حديث
ضعيف ضعفا خفيفا)
Maknanya: “Amalkanlah ayat-ayat muhkamat yang
ada dalam Al Qur'an dan berimanlah
terhadap yang mutasyabihat dalam Al Qur'an". Artinya jangan mengingkari adanya ayat-ayat mutasyabihat
ini melainkan percayai adanya dan kembalikan maknanya kepada ayat-ayat yang
muhkamat. Hadits ini dla'if dengan kedla'ifan yang ringan.
Az-Zabidi mengatakan menukil dari al
Qusyairi : "Bukankah ada pendapat yang mengatakan bahwa bacaan ayat (tentang
takwil) tersebut adalah [
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ
اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ ], seakan Allah menyatakan "orang yang mendalam
ilmunya juga mengetahui takwilnya serta beriman kepadanya" karena beriman
kepada sesuatu itu hanya dapat terwujud setelah mengetahui sesuatu itu, sedang
sesuatu yang tidak diketahui tidak akan mungkin seseorang beriman kepadanya.
Karenanya, Ibnu Abbas mengatakan : "Saya termasuk orang-orang yang
mendalam ilmunya".
II.
Metode Memaknai Ayat Mutasyabihat
Pertama
: Metode Salaf. Mereka
adalah orng-orang yang hidup pada tiga abad hijriyah pertama. Yakni kebanyakan
dari mereka mentakwil ayat-ayat
mutasyabihat secara global (takwil ijmali), yaitu dengan mengimaninya serta
meyakini bahwa maknanya bukanlah sifat-sifat jism (sesuatu yang memiliki ukuran dan dimensi), tetapi memiliki
makna yang layak bagi keagungan dan kemahasucian Allah tanpa menentukan apa
makna tersebut. Mereka mengembalikan makna ayat-ayat mutasyabihat tersebut
kepada ayat-ayat muhkamat seperti firman Allah :
﴿ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ ﴾ (سورة الشورى: ۱۱)
Maknanya: “Dia (Allah)
tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua
segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)”. (Q.S. asy-Syura: 11)
Takwil ijmali ini adalah seperti yang
dikatakan oleh imam asy-Syafi'i –semoga
Allah meridlainya- :
" ءَامَنْتُ بِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ وَبِمَا
جَاءَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ r عَلَى مُرَادِ رَسُوْلِ اللهِ
"
"Aku
beriman dengan segala yang berasal dari Allah sesuai apa yang dimaksudkan Allah
dan beriman dengan segala yang berasal dari Rasulullah r sesuai dengan maksud Rasulullah",
yakni bukan sesuai dengan yang terbayangkan oleh prasangka dan benak manusia
yang merupakan sifat-sifat fisik dan benda (makhluk) yang tentunya mustahil
bagi Allah.
Selanjutnya, penafian bahwa ulama
salaf mentakwil secara terperinci (takwil
tafshili) seperti yang diduga oleh sebagian orang tidaklah benar. Terbukti
bahwa dalam Shahih al Bukhari,
kitab tafsir al Qur'an tertulis :
" سُوْرَةُ الْقَصَصِ ، كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ
وَجْهَهُ ، إِلاَّ
مُلْكَهُ وَيُقَالَ مَا يُتَقَرَّبُ بِهِ إِلَيْهِ " اهـ.
"Surat al Qashash, كُلُّ
شَىْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ
(Q.S. al Qashash : 88) yakni kecuali kekuasaan
dan pengaturan-Nya terhadap makhluk-Nya atau amal yang dilakukan untuk
mendekatkan diri kepada-Nya". Kekuasaan Allah adalah sifat Allah yang azali (tidak
memiliki permulaan) , tidak seperti kekuasaan yang Ia berikan kepada
makhluk-Nya. Dalam Shahih al Bukhari juga masih terdapat
takwil semacam ini di bagian yang lain seperti dlahik yang terdapat dalam hadits ditakwilkan dengan
rahmat-Nya yang khusus (ar-Rahmah al
Khashshah).
Terbukti dengan sahih pula bahwa imam Ahmad yang juga
termasuk ulama salaf mentakwil firman Allah : [ رَبُّكَ ﴿ وَجَاءَ
secara tafshili (terperinci), ia
mengatakan : yakni datang kekuasan-Nya (tanda-tanda kekuasaan-Nya) ".
Sanad perkataan imam Ahmad ini disahihkan oleh al Hafizh al Bayhaqi, seorang
ahli hadits yang menurut al Hafizh Shalahuddin al 'Ala-i : "Setelah al
Bayhaqi dan ad-Daraquthni, belum ada ahli hadits yang menyamai kapasitas
keduanya atau mendekati kapasitas keduanya ". Komentar al Bayhaqi terhadap
sanad tersebut ada dalam kitabnya Manaqib
Ahmad. Sedang komentar al Hafizh Abu Sa'id al 'Ala-i mengenai al Bayhaqi
dan ad-Daraquthni terdapat dalam bukunya
al Wasyyu al Mu'lam. Al Hafizh Abu
Sa'id al 'Ala-i sendiri menurut al Hafizh Ibnu Hajar : "Dia adalah guru
dari para guru kami", beliau hidup pada abad VII Hijriyah.
Banyak di antara para ulama yang
menyebutkan dalam karya-karya mereka bahwa imam Ahmad mentakwil secara
terperinci (tafshili), di antaranya
al Hafizh Abdurrahman ibn al Jawzi yang merupakan salah seorang tokoh besar
madzhab Hanbali. Disebut demikian karena beliau banyak mengetahui nash-nash (teks-teks induk) dalam
madzhab Hanbali dan keadaan imam Ahmad.
Abu Nashr al Qusyairi juga telah
menjelaskan konsekwensi-konsekwensi buruk yang secara logis akan didapat oleh
orang yang menolak takwil. Abu Nashr al Qusyairi adalah seorang ulama yang
digelari oleh al Hafizh 'Abdurrazzaq ath-Thabsi sebagai imam dari para imam.
Ini seperti dikutip oleh al Hafizh Ibnu 'Asakir dalam kitabnya Tabyin Kadzib al Muftari.
Kedua
: Metode Khalaf. Mereka mentakwil ayat-ayat
mutasyabihat secara terperinci dengan menentukan makna-maknanya sesuai dengan
penggunaan kata tersebut dalam bahasa Arab. Seperti halnya ulama Salaf, mereka tidak memahami
ayat-ayat tersebut sesuai dengan zhahirnya. Metode ini bisa diambil dan
diikuti, terutama ketika dikhawatirkan terjadi goncangan terhadap keyakinan
orang awam demi untuk menjaga dan membentengi mereka dari tasybih (menyerupakan
Allah dengan makhluk-Nya).
Sebagai contoh, firman Allah yang memaki Iblis :
﴿ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ
بِيَدَيَّ ﴾ (سورة
ص : 75)
Ayat
ini boleh ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan al Yadayn adalah al 'Inayah (perhatian khusus) dan al Hifzh (memelihara dan menjaga).
III.
Pemahaman Golongan Musyabbihah terhadap Ayat-ayat Mutasyabihat
Berbeda dengan para ulama salaf dan khalaf yang memakai
metode takwil ijmali atau tafshili dalam memaknai ayat
Mutasyabihat, golongan Musyabbihah (golongan yang menyerupakan Allah
dengan makhluk-Nya) seperti orang-orang Wahhabi mengambil makna zhahir
ayat-ayat Mutasyabihat. Berbeda dengan prinsip yang dipegangi mayoritas ummat
bahwa induk al Qur'an adalah ayat-ayat Muhkamat –seperti dijelaskan dalam al
Qur'an: " هُنَّ
أُمُّ الْكِتَابِ
" - sehingga ayat-ayat Muhkamat yang mesti didahulukan untuk diajarkan
kepada ummat sebelum ayat Mutasyabihat dan ayat-ayat Mutasyabihat harus dikembalikan
pemahamannya kepada induknya; yaitu ayat-ayat Muhkamat, golongan Musyabbihah
selalu mendahulukan ayat-ayat Mutasyabihat untuk diajarkan dan seakan mereka
menganggap itulah inti dari ajaran Islam. Buku-buku aqidah mereka selalu
mengedepankan mengajarkan ayat-ayat Mutasyabihat dan menanmkan paham tasybih
pada pengikut mereka, sehingga disadari atau tidak inilah ciri orang yang
menyimpang seperti dijelaskan oleh al Qur'an. Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda
:
" إذا رأيتم الذين يتبعون ما تشابه منه
فأولئك الذين سمى الله فاحذروهم " (رواه أحمد والبخاري ومسلم
وأبو داود والترمذي وابن ماجه)
Maknanya: “Jika kalian menyaksikan orang-orang
yang mengikuti ayat-ayat Mutasyabihat al Qur'an, maka mereka inilah yang disebutkan
oleh dalam Al
Imran : 7, waspadai dan jauhi mereka". (H.R. Ahmad, al Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
at-Turmudzi dan Ibnu Majah)
Karena
sangat berbahayanya orang yang senantiasa mengedepankan ayat Mutasyabihat, maka
sahabat Umar ibn al Khaththab mengusir Shabigh ibn 'Isl yang melakukan hal itu.
Paham tasybih ini sering terungkap
ketika golongan ini menafsirkan ayat-ayat al Qur'an atau menerjemahkannya ke
bahasa-bahasa lain, seperti al Qur'an dan Terjemahannya cetakan Saudi Arabia
yang dipenuhi dengan paham tasybih (menyerupakan Allah dengan
makhluk-Nya). Berikut contoh-contoh dari pemahaman tasybih mereka:
- Ayat Kursi (Q.S. al Baqarah: 255), pada catatan kaki
No.161, h. 63 dikatakan: "…pendapat yang sahih terhadap makna kursi
ialah tempat letak telapak kaki-Nya".
Perkataan ini jelas paham tasybih. Orang-orang Wahhabi ini meyakini
bahwa Allah memiliki anggota badan yaitu kaki dan telapak kaki. Padahal al Imam
ath-Thahawi telah menukil ijma' para ulama salaf yang menegaskan:
"تعالـى (يعني الله) عن الحدود والغايات والأركان والأعضاء
والأدوات".
"Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun
besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi,
anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota
badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan
lainnya).
Al Imam ath-Thahawi juga
mengatakan:
" ومن وصف الله بمعنى من معانـي البشر فقد
كفر".
"Barangsiapa menyifati Allah
dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir".
Di antara sifat-sifat manusia
adalah bergerak, diam, turun, naik, duduk, bersemayam, memiliki anggota badan, baik yang
kecil maupun yang besar dan lain sebagainya. Jadi terjemahan tersebut jelas
mengusung paham tasybih dan kekufuran.
- Pada halaman 230, 368, 476, 567, 660, 900
mereka mengartikan "استوى
على العرش":
dengan
bersemayam, padahal bersemayam maknanya adalah duduk, berkediaman atau tinggal,
tersimpan, terpatri (di hati), membaringkan. Dan semua makna ini mustahil
berlaku bagi Allah karena semuanya adalah sifat makhluk. Tidak boleh diyakini
bahwa Allah bersemayam tidak seperti bersemayamnya kita, karena begitu
dikatakan Allah bersemayam berarti telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
Dan
masih banyak penyimpangan-penyimpangan serupa di berbagai tempat dalam al
Qur'an dan Terjemahannya cetakan Saudi Arabia tersebut. Orang yang
jeli dan memahami dengan baik aqidah Ahlussunnah akan dengan mudah menemukan
paham tasybih tersebut.
Paham
tasybih ini juga nampak ketika para pengikut paham ini mengatakan tentang sifat
Allah tertentu: بذاته dan kata hakiki. Misalnya Muhammad Shalih ibnu Utsaimin ketika
menyebutkan sifat al 'Ayn bagi Allah ia mengatakan:
"ونؤمن بأن لله عينين اثنتين حقيقيتين".
"Dan kami beriman bahwa Allah
memiliki dua 'ayn yang hakiki".
Padahal sifat 'Ayn tidak pernah disebutkan dalam
al Qur'an dengan lafazh tatsniyah atau dengan tambahan kata hakiki. Itu
berarti bahwa ia mamahami 'Ayn tak ubahnya adalah dua mata yang hakiki.
Dan jelas 'Ayn yang hakiki adalah kelopak mata dengan seluruh bagiannya.
Pernyataan Utsaimin ini terdapat dalam buku yang ia namakan: " عقيدة
أهل السنة والجماعة ". Dalam
edisi bahasa Indonesia juga bisa dibaca akidah yang sesat ini dalam terjemahan
M.Yusuf Harun, M.A. di halaman-halaman berikut: 27, 28, 29, 34. Disebutkan
dalam edisi terjemahan ini, h. 34: "(Allah) mempunyai dua mata yang
sebenarnya". Pada h. 35 dikatakan: "Bahwa mata Allah adalah
dua…".
Padahal
Ahlussunnah mengimani 'Ayn
sebagai sifat Allah, yang pasti bukan kelopak mata dan seluruh
bagian-bagiannya. Al Imam al Bayhaqi dalam kitab al Asmaa' wa ash-Shifaat
menyebutkan bab-bab berikut:
-
(باب
ما جاء في إثبات الوجه صفة لا من حيث الصورة
) Bab tentang penetapan Wajh bagi Allah sebagai sifat bukan sebagai
bentuk dan gambar.
-
(باب
ما جاء في إثبات العين صفة لا من حيث الحدقة)
Bab tentang penetapan 'Ayn bagi Allah sebagai sifat bukan dari sisi
sebagai kelopak mata.
-
(باب
ما جاء في إثبات اليدين صفتين لا من حيث الجارحة)
Bab tentang penetapan Yadayn bagi Allah sebagai sifat bukan sebagai
anggota badan.
Jadi meski sama-sama menetapkan Wajh,
'Ayn, Yadayn bagi Allah, Ahlussunnah dan golongan Musyabbihah seperti orang-orang Wahhabi berbeda dalam
memahaminya. Ahlussunnah memahaminya sebagai sifat Allah yang tidak menyerupai
sifat makhluk-Nya. Wajh bukan muka atau bagian tubuh, 'Ayn bukan
mata, kelopak mata dan semacamnya, dan Yadayn bukan kedua tangan yang
merupakan anggota badan. Sedangkan orang-orang wahhabi memahami Wajh secara
hakiki, 'Ayn secara hakiki, yaitu mata, Yadayn secara hakiki
yaitu tangan. Menurut Ahlussunnah sifat-sifat tersebut ketika diyakini sebagai
sifat Allah maka tidak bisa diterjemahkan ke bahasa lain. Karena kata Wajh,
'Ayn dan Yadayn dalam bahasa Arab memiliki beberapa makna, dengan
diterjemahkan kepada salah satu maknanya akan terjadi distorsi dan ketika itu
nampak dipahami sebagai apa. Jika diterjemahkan sebagai wajah atau muka, mata
dan tangan berarti telah meyakini keyakinan tasybih; bahwa Allah
memiliki anggota badan. Seorang sunni
meyakini bahwa Allah memiliki sifat-sifat tersebut yang bukan bermakna muka,
mata atau tangan. Memang mungkin saja diterjemahkan tetapi diterjemahkan
maknanya dengan mentakwil Wajh sebagai al Mulk (kekuasaan), 'Ayn
sebagai al Hifzh (pemeliharaan), Yad sebagai al 'Inayah
(perhatian khusus), atau al Qudrah (kekuasaan) atau al 'Ahd (janji)
dan semacamnya.
Pusat Kajian Islam SYAHAMAH
Jl. Buaran I No.1, Rt.005/012
Klender, Duren Sawit, Jakarta Timur
Telp/Fax.
(021)8607431
Komentar
Posting Komentar