INILAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH



                                                                By: Mastur, S. Ag, M. Pd
Nama Ahlussunnah Waljama’ah (Aswaja) tidaklah asing bagi kebanyakan kita, terutama kaum nahdhiyin.  Sejak berdiri NU telah memproklamirkan dirinya sebagai organisasi keagamaan yang bermanhaj Aswaja. Dalam bidang aqidah Aswaja mengikuti Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Dalam bidang Tasawwuf mengikuti Imam Junayd Al-Baghdadi. Dalam bidang fiqh mengikuti salah satu dari empat madzhab yakni Maliki, Hanafi, Syafi’I dan Hambali.
Namun Ahlussunnah wal Jama’ah ini sering diperebutkan banyak kalangan, karena nabi pernah mengabarkan bahwa Aswaja merupakan al-firqoh an-Najiyah (kelompok yang selamat). Sehingga masing-masing mengklaim dirinya Ahlussunnah. Diantara mereka saling mengaku kelompok yang selamat, sementara yang lain dianggapnya sesat.
Sebut saja kelompok yang menamakan dirinya Salafi (padahal mereka Wahabi). Kelompok yang mengikuti manhaj mereka diantaranya ISIS, yang lagi popular saat ini. Hanya bedanya dalam penamaan, mereka tidak mau menyebut dirinya kaum Aswaja, meski Aswaja sendiri kependekan dari Ahlussunnah Waljama’ah.
Lalu siapakah sebenarnya Ahlussunnah Waljama’ah?


Sejarah mencatat di kalangan umat Islam sejak abad permulaan khulafaurrasyidin (khalifah Ali ibn Abi Thalib, red) sampai sekarang terdapat banyak firqah (golongan). Terutama dalam aqidah, faham satu dengan lainnya sangat berbeda bahkan saling bertentangan. Ini fakta yang tak dapat dibantah. Rasulullah SAW telah menjelaskan bahwa umatnya akan pecah menjadi 73 golongan. Semua ini tentu atas kehendak Allah SWT dengan hikmah tersendiri, meski tidak kita ketahui secara pasti. Sebab Dia lah yang Maha Mengetahui segala sesuatu.

Rasulullah juga telah menjelaskan jalan selamat harus ditempuh agar tidak terjerumus dalam kesesatan banyanyaknya firqah tersebut. Yaitu dengan mengikuti al-Jama’ah; mayoritas umat Islam. Karena Allah telah menjanjikan kepada Rasul-Nya, Muhammad bahwa umatnya tidak akan sesat selama mereka berpegang teguh kepada apa yang disepakati oleh kebanyakan mereka. Kesesatan akan menimpa mereka yang menyempal dan memisahkan diri dari keyakinan mayoritas. Mayoritas umat Muhammad adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Mereka adalah para sahabat, orang-orang yang mengikuti mereka dalam Ushul al-I’tiqad (dasar-dasar aqidah); yaitu Ushul al-Iman al-Sittah (dasar-dasar iman yang enam) disabdakan Rasulullah dalam hadits Jibril:

"الإيمان أنْ تؤمن باللهِ وملائكَته وكتبه ورسله واليومِ الآخرِ والقَدرِ خيرِه وشره"  رواه البخارِي ومسلم
“Iman adalah engkau mempercayai Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab- kitab-
Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir serta Qadar (ketentuan Allah); yang baik maupun buruk”.(H.R. Bukhari dan Muslim)

Al-Jama’ah dalam pengertian sebagai mayoritas umat nabi (Ahlussunnah Wal Jama’ah) seperti disabdakan Rasulullah dalam hadits:
أوصيكم بأصحابِي ثمَّ الذين يُلونهم ثمَّ اّلذين يُلونهم"، وفيه"عَليكم بالجَماعة وإياكم والُفرقة فإنَّ الشيطانَ مع الواحد و هو من الاثْنينِ أبعد فَمن أراد بحبوحة الجَنةَ فلْيلْزمِ الجَماعة". (رواه الترمذي وقَالَ حسن صحيح وصححه الحَاكم)
“Aku berwasiat kepada kalian untuk mengikuti sahabat-sahabatku, kemudian --mengikuti- orang-orang yang datang setelah mereka, kemudian mengikuti yang datang setelah mereka“. Dan termasuk rangkaian hadits ini: “Tetaplah bersama al-Jama’ah dan jauhi perpecahan karena syaitan akan menyertai orang yang sendiri. Dia (syaitan) dari dua orang akan lebih jauh, maka barang siapa menginginkan tempat lapang di surga hendaklah ia berpegang teguh pada (keyakinan) al-Jama’ah”. (H.R. at-Turmudzi, ia berkata hadits ini Hasan Shahih juga hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim).

Al-Jama’ah dalam hadits ini tidak boleh diartikan orang yang hanya selalu menjalankan shalat dengan berjama’ah, jama'ah masjid tertentu atau dengan arti ulama hadits, karena tidak sesuai dengan konteks pembicaraan hadits ini. Konteks pembicaraan hadits ini jelas mengisyaratkan yang dimaksud al-Jama’ah adalah mayoritas umat Muhammad dari sisi kuantitas. Penafsiran ini diperkuat oleh hadits diawal tadi.Yaitu hadits riwayat Abu Dawud merupakan hadits Shahih Masyhur, diriwayatkan oleh lebih dari 10 orang sahabat.

Hadits tersebut memberi kesaksian kebenaran mayoritas umat, bukan kebenaran firqah-firqah yang menyempal. Jumlah pengikut firqah-firqah yang menyempal ini, dibanding pengikut Ahlussunnah Wal Jama’ah sangatlah sedikit. Selanjutnya kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah dikenal istilah “ulama salaf”. Mereka orang-orang terbaik dari kalangan Aswaja yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah sebagaimana sabda nabi:
"خير الُقرون قَرنِي ثم الذين يُلونهم ثم الذين يُلونهم" (رواه الترمذي)
“Sebaik-baik abad adalah abadku kemudian abad setelah mereka kemudian abad setelah mereka”.(H.R. Tirmidzi)

Pada masa ulama salaf, sekitar tahun 260 H, mulai menyebar bid’ah Mu’tazilah, Khawarij, Musyabbihah dan kelompok-kelompok yang membuat faham baru. Kemudian dua imam agung; Abu al-Hasan al-Asy’ari (W. 324 H) dan Abu Manshur al-Maturidi (W. 333 H). Mereka datang menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diyakini para sahabat nabi dan orang-orang yang mengikuti mereka. Mereka mengemukakan dalil-dalil naqli (nash al-Quran dan Hadits) dan dalil-dalil aqli (argumentasi rasional). Disertai bantahan terhadap syubhat (sesuatu yang dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) dari kaum Mu’tazilah, Musyabbihah, Khawarij dan ahli bid’ah lainnya.

Sehingga kaum Ahlussunnah wal Jamaah dinisbatkan kepada keduanya. Yakni al-
Asy’ariyyun (para pengikut imam Abu al-Hasan Asy’ari) dan al-Maturidiyyun (para pengikut imam Abu Manshur al-Maturidi). Mereka adalah satu golongan al-Jama’ah. Karena sebenarnya jalan yang ditempuh oleh al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam aqidah adalah sama dan satu.

Adapun perbedaan diantara keduanya sebatas masalah furu’ (cabang) aqidah. Hal itu tidak menjadikan keduanya saling menghujat atau saling menyesatkan. Serta tidak menjadikan keduanya lepas dari ikatan golongan yang selamat (al-Firqah al-Najiyah).

Perbedaan antara Asy’ariyyah dan Maturidiyyah ini seperti perselisihan yang terjadi antara para sahabat nabi, perihal apakah Rasulullah melihat Allah pada saat Mi’raj?. Sahabat seperti Aisyah dan Ibn Mas’ud mengatakan Rasulullah tidak melihat Tuhannya pada waktu Mi’raj. Sedang Abdullah ibn Abbas mengatakan Rasulullah  melihat Allah dengan hatinya. Allah memberi kemampuan hati Nabi Muhammad sehingga dapat melihat Allah SWT.

Namun demikian al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah  tetap sepaham dan sehaluan dalam dasar-dasar aqidah. Al-Hafizh Murtadla az-Zabidi (W. 1205 H), mengatakan:
إذَا أطْلق أهلُ السنة والجَماعةفاُلمراد بهِم الأشاعرُة والمَاترِيديُة
“Jika dikatakan Ahlussunnah wal Jama’ah, maka yang dimaksud adalah al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah “. (al-Ithaf, juz 2 hlm 6)

Jadi aqidah yang benar dan diyakini para ulama salaf yang shalih adalah aqidah yang diyakini oleh al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah. Karena sebenarnya keduanya hanyalah meringkas dan menjelaskan aqidah yang diyakini oleh para nabi dan rasul serta para sahabat. Aqidah Ahlusssunnah adalah aqidah yang diyakini oleh ratusan juta umat Islam, mereka adalah para pengikut madzhab Syafi’i, Maliki,Hanafi, serta orang-orang yang utama dari madzhab Hambali (Fudhala’ al-Hanabilah).

Di Indonesia, aqidah ini diajarkan di pesantren-pesantren. Dan aqidah ini juga diyakini oleh ratusan juta kaum muslimin di seluruh dunia seperti Malaysia, Brunei, India, Pakistan, Mesir (terutama al-Azhar), negara-negara Syam (Syiria, Yordania, Lebanon dan Palestina), Maroko, Yaman, Irak, Turki, Daghistan, Checnya, Afghanistan dan masih banyak negara-negara lainnya.

Kita wajib senantiasa penuh perhatian dan keseriusan dalam mendalami aqidah al- Firqah al-Najiyah, yang merupakan golongan mayoritas. Karena ilmu aqidah adalah ilmu yang paling mulia, sebab ia menjelaskan pokok atau dasar agama. Abu Hanifah menamakan ilmu ini dengan sebutan al-Fiqh al-Akbar.

Mempelajari ilmu ini harus lebih dahulu ketimbang ilmu-ilmu lain. Setelah cukup baru disusul dengan ilmu-ilmu yang lain. Inilah metode yang diikuti para sahabat nabi dan ulama rabbaniyyun dari kalangan salaf maupun khalaf dalam mempelajari agama. Tradisi semacam ini sudah ada sejak Rasulullah, sebagaimana dikatakan sahabat Ibn Umar dan sahabat Jundub:
"كُنا ونحن فتيانٌ حزاوِرةٌ مع رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ علَيه وسّلم تعّلمنا الإيمانَ ولَم نتعلّمِ القرءَانَ ثم تعلَّمنا الُقرءَانَ فَا  زددنابه إيمانا" رواه ابن ماجه وصححه الحافظ البوصيري
“Kami -selagi remaja saat mendekati baligh- bersama Rasulullah mempelajari iman (tauhid) dan belum mempelajari al-Qur’an. Kemudian kami mempelajari al-Qur’an maka  bertambahlah keimanan kami". (H.R. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Hafidz al-Bushiri).

PANDANGAN ULAMA TENTANG AQIDAH ASY'ARIYAH

As-Subki dalam Thabaqatnya berkata: "Ketahuilah bahwa Abu al-Hasan al- Asy'ari tidak membawa ajaran baru atau madzhab baru, beliau hanya menegaskan kembali madzhab salaf, menghidupkan ajaran-ajaran sahabat Rasulullah. Penisbatan nama kepadanya karena beliau konsisten dalam berpegang teguh ajaran salaf, hujjah (argumentasi) yang dipakai sebagai landasan kebenaran aqidahnya tidak keluar dari hujjah para pendahulunya.Karenanya para pengikut disebut Asy'ariyyah.

 Abu al-Hasan al-Asy'ari bukanlah ulama yang pertama kali berbicara tentang Ahlussunnah wal Jama'ah.Ulama-ulama sebelumnya juga banyak membahas Aswaja. Beliau hanya lebih memperkuat ajaran salaf itu dengan argumen-argumen yang kuat. Bukankah penduduk kota Madinah banyak dinisbatkan kepada Imam Malik, dan pengikutnya disebut al Maliki. Ini bukan berarti Imam Malik membawa ajaran baru yang sama sekali tidak ada pada para ulama sebelumnya, melainkan karena Imam Malik menjelaskan ajaran-ajaran lama dengan penjelasan yang lebih rinci dan sistematis. Demikian juga yang dilakukan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari".

Habib Abdullah ibn Alawi al-Haddad menegaskan bahwa " kelompok yang benar adalah kelompok Asy'ariyah dinisbatkan kepada Imam Asy'ari. Aqidahnya juga aqidah para sahabat dan tabi'in, aqidah ahlul haqq dalam setiap masa dan tempat, aqidahnya juga menjadi aqidah kaum sufi sejati. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Imam Abul Qasim al-Qusyayri. Alhamdulillah aqidahnya juga menjadi aqidah kami dan saudara-saudara kami dari kalangan habaib, dikenal dengan keluarga Abu Alawi, juga aqidah para pendahulu kita. Kemudian beliau melantunkan satu bait sya'ir:
وكن أشعريا في اعتقادك إنه      هو المنهل الصافي عن الزيغ والكفر
"Jadilah pengikut al Asy'ari dalam aqidahmu, karena ajarannya adalah sumber yang bersih dari kesesatan dan kekufuran"

Ibnu 'Abidin al Hanafi mengatakan dalam Hasyiyah Radd al Muhtar 'ala ad-Durr al Mukhtar : "Ahlussunnah Wal Jama'ah adalah al Asya'irah dan al Maturidiyyah".
Dalam kitab 'Uqud al Almas al Habib Abdullah Alaydrus al Akbar mengatakan : "Aqidahku adalah aqidah Asy'ariyah Hasyimiyah Syar'iyah sebagaimana aqidah para ulama madzhab syafi'i dan Kaum Ahlussunnah Shufiyah". Bahkan jauh sebelum mereka ini Al Imam al 'Izz ibn Abd as-Salam mengemukakan aqidah al Asy'ariyyah disepakati oleh pengikut madzhab Syafi'i, Maliki, Hanafi dan orang-orang utama dari madzhab Hambali (Fudlala al Hanabilah).

Apa yang dikemukakan oleh al 'Izz ibn Abd as-Salam ini disetujui oleh para ulama di masanya, seperti Abu 'Amr Ibn al Hajib (pimpinan ulama Madzhab Maliki di masanya), Jamaluddin al Hushayri pimpinan ulama Madzhab Hanafi di masanya, juga disetujui oleh al Imam at-Taqiyy as-Subki sebagaimana dinukil oleh putranya Tajuddin as-Subki.

* Makalah ini dimuat di Buletin NUktah edisi 01 yang diterbitkan PCLTN NU Kencong

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAHA SUCI ALLAH DARI TEMPAT, ARAH, BENTUK DAN UKURAN (HADD)

KISAH PERTEMUAN KH. KHOLILURRAHMAN (RA LILUR – CICIT MBAH KHOLIL BANGKALAN MADURA) DENGAN GURU MULIA, PROF. DR. AL-HABIB AL-SYAIKH SALIM ‘ALWAN AL-HUSAINI (KETUA DARUL FATWA AUSTRALIA)