MEMAHAMI PRINSIP AKIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH


 By: Mastur, S. Ag, M. Pd
الإِيْمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ وَاْلقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

“Iman adalah apabila kamu beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya Rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan qadar yang baik dan yang buruk” (H.R al Bukhari)

Petikan hadits diatas memberi pemahaman bahwa dasar keimanan yang pertama adalah percaya kepada Allah SWT. Artinya meyakini sepenuhnya bahwa Allah itu ada (maujud) dan tidak ada sekutu (serupa) bagi-Nya. Baik pada Dzat, sifat maupun perbuatan-Nya.

Konsep keimanan ini disebut tanzih atau tauhid. Konsep ini berdasarkan firman Allah dalam Al Quran surat as Syu’ara: 11:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
 Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi), dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi).

Para ulama Ahlussunnah mengatakan ayat diatas yang paling terang dalam al Qur'an menjelaskan tentang tanzih, bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Kata syai dalam ayat diatas berarti segala sesuatu selain Allah, seperti alam atau makhluk. Bentuk kata syai yang nakirah dan diletakkan dalam struktur kalimat nafi menunjukkan tidak satupun makhluk (tanpa kecuali) yang serupa dengan Allah, baik dari satu segi maupun semua segi.

Secara umum alam dapat dikelompokkan menjadi dua kategori; yaitu benda (jirm) dan sifat benda (‘aradh). Sedang jirm juga terbagi menjadi dua pula. Pertama benda yang tidak dapat terbagi lagi karena telah mencapai batas terkecil. Para ulama menyebutnya al Jawhar al Fard. Kedua, benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bagian yang disebut jisim.

Selanjutnya benda jisim juga terbagi menjadi dua macam, yaitu benda lathif: benda yang tidak dapat dipegang oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan sebagainya. Benda Katsif: sesuatu yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-benda padat dan lain-lain.

Sedang sifat benda (al ‘aradh) adalah seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan sebagainya. Dengan demikian sesuai ayat diatas dapat ditegaskan bahwa Allah bukan berupa al jawhar al fard atau berupa jisim, juga bukan benda lathif atau benda katsif. Dan Dia juga tidak boleh disifati sifat-sifat benda (‘aradh).

Berdasar ayat diatas Ahlussunnah menegaskan Allah ada tanpa tempat dan arah. Sebab bertempat adalah salah satu sifat makhluk. Secara akal, seandainya Allah memiliki tempat dan arah, maka akan banyak yang serupa dengan-Nya. Sebab berarti Dia memiliki dimensi (panjang, lebar dan kedalaman). Demikian itu adalah makhluk yang butuh kepada yang menjadikannya dalam dimensi tersebut.

Selain ayat diatas, dalil yang membuktikan bahwa Allah ada tanpa tempat adalah sabda Rasulullah SAW.
كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْـرُهُ
Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (H.R al Bukhari, al Baihaqi dan Ibn al Jarud)
Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal (yaitu keberadaan tanpa permulaan; sebagian orang menyebutnya dengan zaman azali meski sebenarnya bukan zaman), tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah. Dia tidak membutuhkan keduanya dan tidak berubah dari semula. Yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah ciri sesuatu yang baru (makhluk).

Maka dapat diterima oleh akal, wujud Allah tanpa tempat dan arah sebelum tercipta keduanya. Begitu pula akal akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah. Sebagaimana ditegaskan juga oleh sayyidina Ali ibn Abi Thalib:
كَانَ اللهُ وَلَا مَكَانَ وَهُوَ الآنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ
"Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat dan Dia (Allah) sekarang (setelah terciptanya tempat) tetap seperti semula, ada tanpa tempat" (Dituturkan oleh al Imam Abu Manshur al Baghdadi dalam kitab al Farq bayna al Firaq h. 333)

Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari dalam muqaddimah risalahnya berjudul at Tanbihat al Wajibat mengatakan:
وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ اْلمُنَزَّهُ عَنِ اْلجِسْمِيَّةِ وَاْلجِهَةِ وَالزَّمَانِ وَاْلمَكَانِ
“Dan aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang wajib disembah melainkan Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia maha suci dari berbentuk (berjisim), arah, zaman atau masa dan tempat”

Ketika seseorang menengadahkan kedua tangannya ke langit dan berdoa, hal ini tidak menandakan bahwa Allah berada di langit. Akan tetapi karena langit adalah kiblat berdoa dan merupakan tempat turunnya rahmat dan barakah. Sebagaimana bila seseorang melakukan shalat, ia menghadap ka'bah. Hal ini tidak berarti Allah berada di dalamnya, namun karena ka'bah adalah kiblat shalat. Sebagaimana ditegaskan Syekh Ihsan bin Muhammad Dahlan al Jampesi Kediri dalam kitab Sirajut Thalibin ‘ala Minhaji al ‘Abidin:

وَمُقَدَّسًا عَنْ أَنْ يَحْوِيَهُ مَكَانٌ فَيُشَارُ إِلَيْهِ أَوْ تَضُمَّهُ جِهَةٌ، وَإِنَّمَا اخْتُصَّتْ السَّمَاءُ بِرَفْعِ اْلأَيْدِيْ إِلَيْهَا عِنْدَ الدُّعَاءِ لِأَنَّهَا جُعِلَتْ قِبْلَةَ اْلأَدْعِيَةِ كَمَا أَنَّ اْلكَعْبَةَ جُعِلَتْ قِبْلَةَ لْمُصَلِّي يَسْتَقْبِلُهَا لِلصَّلَاةِ
“Dan Allah maha suci dari diliputi tempat sehingga bisa ditunjuk, Allah juga maha suci dari diliputi arah. Sedang dikhususkannya mengangkat tangan ke langit ketika berdo’a adalah karena langit dijadikan kiblat berdo’a sebagaimana ka’bah dijadikan kiblat orang shalat, dia menghadap padanya untuk shalat”

Al Imam Abu Ja'far at-Thahawi (227-321 H)  berkata:
تَعَالَـى-يعني الله - عَنِ اْلحُدُوْدِ وَاْلغَايَاتِ وَاْلأَرْكَانِ وَاْلأَعْضَاءِ وَاْلأَدَوَاتِ لَا تَحْوِيْهِ اْلجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ اْلمُبْتَدَعَاتِ
"Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak berukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut".

Mengingat bahwa Allah bukanlah benda dan tidak disifati dengan sifat benda, maka Allah tidak dapat terjangkau oleh akal pikiran manusia dan tidak dapat dibayangkan. Sebab semua yang ada dalam akal pikiran dan benak manusia pasti berupa benda yang disifati sifat benda. Al Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) dan al Imam Dzu an-Nun al Mishri (w. 245 H) salah seorang murid terkemuka Imam Malik menuturkan kaidah yang sangat bermanfaat dalam ilmu Tauhid:
مَهْمَا تَصَوَّرْتَ بِبَالِكَ فَاللهُ بِخِلَافِ ذَلِكَ
"Apapun yang terlintas dalam benak kamu (tentang Allah), maka Allah tidak seperti itu".(Diriwayatkan dari Imam Ahmad ibn Hanbal oleh Abu al Fadll at-Tamimi dalam kitabnya I'tiqad al Imam al Mubajjal Ahmad ibn Hanbal dan diriwayatkan dari Dzu an-Nun al Mishri oleh al Hafizh al Khathib al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad)

Pernyataan serupa ditegaskan Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al Bantani dalam kitab Nur adz Dzalam ‘ala Aqidati al ‘Awam hal 7-8:
وَكُلُّ مَا خَطَرَ بِبَالِكَ مِنْ صِفَاتِ اْلحَوَادِثِ لَا تُصَدِّقْ أَنَّ فِي اللهِ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ
“Dan semua yang melintas dalam benakmu diantara sifat-sifat makhluk jangan percaya bahwa terdapat pada Allah salah satu diantara sifat-sifat makhluk tersebut”

Jadi keyakinan umat Islam dari kalangan salaf dan khalaf bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Dan tidak dapat dibayangkan Dzat-Nya, bukan seperti keyakinan kelompok Wahabi yang  meyakini Allah adalah benda yang duduk diatas Arsy. Keyakinan ini adalah penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya, karena duduk adalah sifat manusia.
* Makalah ini jga dimuat di Buletin NUktah edisi 02 yang diterbitkan PCLTN NU Kencong


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAHA SUCI ALLAH DARI TEMPAT, ARAH, BENTUK DAN UKURAN (HADD)

KISAH PERTEMUAN KH. KHOLILURRAHMAN (RA LILUR – CICIT MBAH KHOLIL BANGKALAN MADURA) DENGAN GURU MULIA, PROF. DR. AL-HABIB AL-SYAIKH SALIM ‘ALWAN AL-HUSAINI (KETUA DARUL FATWA AUSTRALIA)