Penilaian adz-Dzahabi Terhadap Ibnu Taimiyah
By. Syahamah
Al-Hâfizh Syamsuddin adz-Dzahabi ini adalah murid dari Ibnu Taimiyah.
Walaupun dalam banyak hal adz-Dzahabi
mengikuti paham-paham Ibnu Taimiyah, --terutama dalam masalah akidah--, namun
ia sadar bahwa ia sendiri, dan gurunya tersebut, serta orang-orang yang menjadi
pengikut gurunya ini telah menjadi bulan-bulanan mayoritas umat Islam dari
kalangan Ahlussunnah pengikut madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari.
Kondisi ini disampaikan oleh adz-Dzahabi kepada Ibnu Taimiyah untuk
mengingatkannya agar ia berhenti dari menyerukan paham-paham ekstrimnya, serta
berhenti dari kebiasaan mencaci-maki para ulama saleh terdahulu. Untuk ini
kemudian adz-Dzahabi menuliskan beberapa risalah sebagai nasehat kepada Ibnu
Taimiyah, sekaligus hal ini sebagai “pengakuan” dari seorang murid terhadap
kesesatan gurunya sendiri. Risalah pertama berjudul Bayân Zghl al-‘Ilm Wa
ath-Thalab, dan risalah kedua berjudul an-Nashîhah adz-Dzhabiyyah
Li Ibnu Taimiyah.
Dalam risalah Bayân Zghl al-‘Ilm,
adz-Dzahabi menuliskan ungkapan yang diperuntukan bagi Ibnu Taimiyah sebagai
berikut:
“Hindarkanlah
olehmu rasa takabur dan sombong dengan ilmumu. Alangkah bahagianya dirimu jika
engkau selamat dari ilmumu sendiri karena engkau menahan diri dari sesuatu yang
datang dari musuhmu atau engkau menahan diri dari sesuatu yang datang dari
dirimu sendiri. Demi Allah, kedua mataku ini tidak pernah mendapati orang yang
lebih luas ilmunya, dan yang lebih kuat kecerdasannya dari seorang yang bernama
Ibnu Taimiyah. Keistimewaannya ini ditambah lagi dengan sikap zuhudnya dalam
makanan, dalam pakaian, dan terhadap perempuan. Kemudian ditambah lagi dengan
konsistensinya dalam membela kebenaran dan berjihad sedapat mungkin walau dalam
keadaan apapun. Sungguh saya telah lelah dalam menimbang dan mengamati
sifat-sifatnya (Ibnu Taimiyah) ini hingga saya merasa bosan dalam waktu yang
sangat panjang. Dan ternyata saya medapatinya mengapa ia dikucilkan oleh para
penduduk Mesir dan Syam (sekarang Siria, lebanon, Yordania, dan Palestina)
hingga mereka membencinya, menghinanya, mendustakannya, dan bahkan
mengkafirkannya, adalah tidak lain karena dia adalah seorang yang takabur,
sombong, rakus terhadap kehormatan dalam derajat keilmuan, dan karena sikap
dengkinya terhadap para ulama terkemuka. Anda lihat sendiri, alangkah besar
bencana yang ditimbulkan oleh sikap “ke-aku-an” dan sikap kecintaan terhadap
kehormatan semacam ini!”[1].
Adapun nasehat
adz-Dzahabi terhadap Ibnu Taimiyah yang ia tuliskan dalam risalah an-Nashîhah
adz-Dzahabiyyah, secara lengkap dalam terjemahannya sebagai berikut:
“Segala
puji bagi Allah di atas kehinaanku ini. Ya Allah berikanlah rahmat bagi diriku,
ampunilah diriku atas segala kecerobohanku, peliharalah imanku di dalam diriku.
Oh…
Alangkah sengsaranya diriku karena aku sedikit sekali memiliki sifat sedih!!
Oh…
Alangkah disayangkan ajaran-ajaran Rasulullah dan orang-orang yang berpegang
teguh dengannya telah banyak pergi!!
Oh...
Alangkah rindunya diriku kepada saudara-saudara sesama mukmin yang dapat
membantuku dalam menangis!!
Oh...
Alangkah sedih karena telah hilang orang-orang (saleh) yang merupakan pelita-pelita
ilmu, orang-orang yang memiliki sifat-sifat takwa, dan orang-orang yang
merupakan gudang-gudang bagi segala kebaikan!!
Oh...
Alangkah sedih atas semakin langkanya dirham (mata uang) yang halal dan semakin
langkanya teman-teman yang lemah lembut yang menentramkan. Alangkah
beruntungnya seorang yang disibukan dengan memperbaiki aibnya sendiri dari pada
ia mencari-cari aib orang lain. Dan alangkah celakanya seorang disibukan dengan
mencari-cari aib orang lain dari pada ia memperbaiki aibnya sendiri.
Sampai
kapan engkau (Wahai Ibnu Taimiyah) akan terus memperhatikan kotoran kecil di
dalam mata saudara-saudaramu, sementara engkau melupakan cacat besar yang
nyata-nyata berada di dalam matamu sendiri?!
Sampai
kapan engkau akan selalu memuji dirimu sendiri, memuji-muji pikiran-pikiranmu
sendiri, atau hanya memuji-muji ungkapan-ungkapanmu sendiri?! Engkau selalu
mencaci-maki para ulama dan mencari-cari aib orang lain, padahal engkau tahu
bahwa Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian menyebut-menyebut orang-orang yang
telah mati di antara kalian kecuali dengan sebutan yang baik, karena
sesungguhnya mereka telah menyelesaikan apa yang telah mereka perbuat”.
Benar, saya
sadar bahwa bisa saja engkau dalam membela dirimu sendiri akan berkata
kepadaku: “Sesungguhnya aib itu ada pada diri mereka sendiri, mereka sama
sekali tidak pernah merasakan kebenaran ajaran Islam, mereka betul-betul tidak
mengetahui kebenaran apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad, memerangi mereka
adalah jihad”. Padahal, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang sangat
mengerti terhadap segala macam kebaikan, yang apa bila kebaikan-kebaikan
tersebut dilakukan maka seorang manusia akan menjadi sangat beruntung. Dan
sungguh, mereka adalah orang-orang yang tidak mengenal (tidak mengerjakan)
kebodohan-kebodohan (kesesatan-kesesatan) yang sama sekali tidak memberikan
manfa’at kepada diri mereka. Dan sesungguhnya (Sabda Rasulullah); “Di antara
tanda-tanda baiknya keislaman seseorang adalah apa bila ia meninggalkan sesuatu
yang tidak memberikan manfa’at bagi dirinya”. (HR. at-Tirmidzi)
Hai Bung…!
(Ibnu Taimiyah), demi Allah, berhentilah, janganlah terus mencaci maki kami.
Benar, engkau adalah seorang yang pandai memutar argumen dan tajam lidah,
engkau tidak pernah mau diam dan tidak tidur. Waspadalah engkau, jangan sampai
engkau terjerumus dalam berbagai kesesatan dalam agama. Sungguh, Nabimu (Nabi
Muhammad) sangat membenci dan mencaci perkara-perkara [yang ekstrim]. Nabimu
melarang kita untuk banyak bertanya ini dan itu. Beliau bersabda: “Sesungguhnya
sesuatu yang paling ditakutkan yang aku khawatirkan atas umatku adalah seorang
munafik yang tajam lidahnya”. (HR. Ahmad)
Jika banyak
bicara tanpa dalil dalam masalah hukum halal dan haram adalah perkara yang akan
menjadikan hati itu sangat keras, maka terlebih lagi jika banyak bicara dalam
ungkapan-ungkapan [kelompok yang sesat, seperti] kaum al-Yunusiyyah, dan kaum
filsafat, maka sudah sangat jelas bahwa itu akan menjadikan hati itu buta.
Demi Allah,
kita ini telah menjadi bahan tertawaan di hadapan banyak makhluk Allah. Maka
sampai kapan engkau akan terus berbicara hanya mengungkap kekufuran-kekufuran
kaum filsafat supaya kita bisa membantah mereka dengan logika kita??
Hai Bung…!
Padahal engkau sendiri telah menelan berbagai macam racun kaum filsafat
berkali-kali. Sungguh, racun-racun itu telah telah membekas dan menggumpal pada
tubuhmu, hingga menjadi bertumpuk pada badanmu.
Oh…
Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya diisi dengan tilâwah
dan tadabbur, majelis yang isinya menghadirkan rasa takut kepada Allah
karena mengingt-Nya, majelis yang isinya diam dalam berfikir.
Oh…
Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya disebutkan tentang
orang-orang saleh, karena sesungguhnya, ketika orang-orang saleh tersebut
disebut-sebut namanya maka akan turun rahmat Allah. Bukan sebaliknya, jika
orang-orang saleh itu disebut-sebut namanya maka mereka dihinakan, dilecehkan,
dan dilaknat.
Pedang
al-Hajjaj (Ibn Yusuf ats-Tsaqafi) dan lidah Ibn Hazm adalah laksana dua saudara
kandung, yang kedua-duanya engkau satukan menjadi satu kesatuan di dalam
dirimu. (Engkau berkata): “Jauhkan kami dari membicarakan tentang “Bid’ah
al-Khamîs”, atau tentang “Akl al-Hubûb”, tetapi berbicaralah
dengan kami tentang berbagai bid’ah yang kami anggap sebagai sumber kesesatan”.
(Engkau berkata); Bahwa apa yang kita bicarakan adalah murni sebagai bagian
dari sunnah dan merupakan dasar tauhid, barangsiapa tidak mengetahuinya maka
dia seorang yang kafir atau seperti keledai, dan siapa yang tidak mengkafirkan
orang semacam itu maka ia juga telah kafir, bahkan kekufurannya lebih buruk
dari pada kekufuran Fir’aun. (Engkau berkata); Bahwa orang-orang Nasrani sama
seperti kita. Demi Allah, [ajaran engkau ini] telah menjadikan banyak hati
dalam keraguan. Seandainya engkau menyelamatkan imanmu dengan dua kalimat
syahadat maka engkau adalah orang yang akan mendapat kebahagiaan di akhirat.
Oh…
Alangkah sialnya orang yang menjadi pengikutmu, karena ia telah mempersiapkan
dirinya sendiri untuk masuk dalam kesesatan (az-Zandaqah) dan kekufuran,
terlebih lagi jika yang menjadi pengikutmu tersebut adalah seorang yang lemah
dalam ilmu dan agamanya, pemalas, dan bersyahwat besar, namun ia membelamu
mati-matian dengan tangan dan lidahnya. Padahal hakekatnya orang semacam ini,
dengan segala apa yang ia perbuatan dan apa yang ada di hatinya, adalah musuhmu
sendiri. Dan tahukah engkau (wahai Ibnu
Taimiyah), bahwa mayoritas pengikutmu tidak lain kecuali orang-orang yang
“terikat” (orang-orang bodoh) dan lemah akal?! Atau kalau tidak demikian maka
dia adalah orang pendusta yang berakal tolol?! Atau kalau tidak demikian maka
dia adalah aneh yang serampangan, dan tukang membuat makar?! Atau kalau tidak
demikian maka dia adalah seorang yang [terlihat] ahli ibadah dan saleh, namun
sebenarnya dia adalah seorang yang tidak paham apapun?! Kalau engkau tidak
percaya kepadaku maka periksalah orang-orang yang menjadi pengikutmu tersebut,
timbanglah mereka dengan adil…!
Wahai
Muslim (yang dimaksud Ibnu Taimiyah), adakah layak engkau mendahulukan syahwat
keledaimu yang selalu memuji-muji dirimu sendiri?! Sampai kapan engkau akan
tetap menemani sifat itu, dan berapa banyak lagi orang-orang saleh yang akan
engkau musuhi?! Sampai kapan engkau akan tetap hanya membenarkan sifatmu itu,
dan berapa banyak lagi orang-orang baik yang akan engkau lecehkan?!
Sampai
kapan engkau hanya akan mengagungkan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi
orang-orang yang akan engkau kecilkan (hinakan)?!
Sampai
kapan engkau akan terus bersahabat dengan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi
orang-orang zuhud yang akan engkau perangi?!
Sampai
kapan engkau hanya akan memuji-muji pernyataan-pernyataan dirimu sendiri dengan
berbagai cara, yang demi Allah engkau sendiri tidak pernah memuji hadits-hadits
dalam dua kitab shahih (Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh
Muslim) dengan caramu tersebut?!
Oh…
Seandainya hadits-hadits dalam dua kitab shahih tersebut selamat dari
keritikmu…! Tetapi sebalikanya, dengan semaumu engkau sering merubah
hadits-hadits tersebut, engkau mengatakan ini dla’if, ini tidak benar, atau
engkau berkata yang ini harus ditakwil, dan ini harus diingkari.
Tidakkah
sekarang ini saatnya bagimu untuk merasa takut?! Bukankah saatnya bagimu
sekarang untuk bertaubat dan kembali (kepada Allah)?! Bukankah engkau sekarang
sudah dalam umur 70an tahun, dan kematian telah dekat?! Tentu, demi Allah, aku
mungkin mengira bahwa engkau tidak akan pernah ingat kematian, sebaliknya
engkau akan mencaci-maki seorang yang ingat akan mati! Aku juga mengira bahwa
mungkin engkau tidak akan menerima ucapanku dan mendengarkan nesehatku ini,
sebaliknya engkau akan tetap memiliki keinginan besar untuk membantah lembaran
ini dengan tulisan berjilid-jilid, dan engkau akan merinci bagiku berbagai
rincian bahasan. Engkau akan tetap selalu membela diri dan merasa menang,
sehingga aku sendiri akan berkata kepadaku: “Sekarang, sudah cukup, diamlah…!”.
Jika
penilaian terhadap dirimu dari diri saya seperti ini, padahal saya sangat
menyangi dan mencintaimu, maka bagaimana penilaian para musuhmu terhadap
dirimu?! Padahal para musuhmu, demi Allah, mereka adalah orang-orang saleh,
orang-orang cerdas, orang-orang terkemuka, sementara para pembelamu adalah
orang-orang fasik, para pendusta, orang-orang tolol, dan para pengangguran yang
tidak berilmu.
Aku sangat
ridla jika engkau mencaci-maki diriku dengan terang-terangan, namun diam-diam
engkau mengambil manfaat dari nasehatku ini. “Sungguh Allah telah memberikan
rahmat kepada seseorang, jika ada orang lain yang menghadiahkan
(memperlihatkan) kepadanya akan aib-aibnya”. Karena memang saya adalah manusia
banyak dosa. Alangkah celakanya saya jika saya tidak bertaubat. Alangkah celaka
saya jika aib-aibku dibukakan oleh Allah yang maha mengetahui segala hal yang
ghaib. Obatnya bagiku tiada lain kecuali ampunan dari Allah, taufik-Nya, dan
hidayah-Nya.
Segala puji
hanya milik Allah, Shalawat dan salam semoga terlimpah atas tuan kita Muhammad,
penutup para Nabi, atas keluarganya, dan para sahabatnya sekalian[2].
[1] Secara
lengkap dikutip oleh asy-Syaikh Arabi at-Tabban dalam kitab Barâ-ah
al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, lihat kitab j. 2, h. 9
[2] Teks lebih
lengkap lihat an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah, Ibid, j. 2, h.
9-11
Komentar
Posting Komentar