ALLAH ADA TANPA TEMPAT



By: Syahamah
 
بسم الله الرحمن الرحيم

ALLAH ADA TANPA TEMPAT
الحمد لله وصلى الله على رسول الله وسلم وبعد
قال الله تعالى : ] هل تعلم له سـميّا [      (سورة مريم : 65)
Maknanya: Engkau tidaklah menemukan yang serupa dengan-Nya (Allah)”. (Q.S. Maryam : 65)                                           
            Sesungguhnya keyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat adalah aqidah Nabi Muhammad, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka. Mereka dikenal dengan Ahlussunnah Wal Jama'ah; kelompok mayoritas ummat yang merupakan al Firqah an-Najiyah (golongan yang selamat).
            Dalil atas keyakinan tersebut selain ayat di atas adalah firman Allah ta'ala:
                         ] ليس كمثله شىء [      (سورة الشورى: 11)
Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi), dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (Q.S. as-Syura: 11)
Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al Qur'an yang menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam (makhluk Allah) terbagai atas dua bagian; yaitu benda dan sifat benda. Kemudian benda terbagi menjadi dua, yaitu benda yang tidak dapat terbagi lagi karena telah mencapai batas terkecil (para ulama menyebutnya dengan al Jawhar al Fard), dan benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bagian (jisim). Benda yang terakhir ini terbagi menjadi dua macam;
1.      Benda Lathif: sesuatu yang tidak dapat dipegang oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan sebagainya.
2.      Benda Katsif: sesuatu yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya.
Sedangkan sifat-sifat benda adalah seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan sebagainya. Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah ta'ala tidak menyerupai makhluk-Nya, bukan merupakan al Jawhar al Fard, juga bukan benda Lathif atau benda Katsif. Dan Dia tidak boleh disifati dengan apapun dari sifat-sifat benda. Ayat tersebut cukup untuk dijadikan sebagai dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Karena seandainya Allah mempunyai tempat dan arah, maka akan banyak yang serupa dengan-Nya. Karena dengan demikian berarti ia memiliki dimensi (panjang, lebar dan kedalaman). Sedangkan sesuatu yang demikian, maka ia adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam dimensi tersebut.
                    قال رسول الله r: "كان الله ولم يكن شىء غيـره" (رواه البخاري والبيهقي وابن الجارود)
Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda: Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (H.R. al Bukhari, al Bayhaqi dan Ibn al Jarud)
Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan), tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, 'Arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru (makhluk).
Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah. Sebagaimana ditegaskan juga oleh sayyidina Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah  meridlainya-:
                   "كان الله ولا مكان وهو الآن على ما عليه كان"
Maknanya: "Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat dan Dia (Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula, ada tanpa tempat" (dituturkan oleh al Imam Abu Manshur al Baghdadi dalam kitabnya al Farq bayna al Firaq h. 333).
Al Imam al Bayhaqi (W. 458 H) dalam kitabnya al Asma wa ash-Shifat, hlm. 506, mengatakan: "Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu 'alayhi wa sallam:
 قال رسول الله r : "أنت الظاهر فليس فوقك شىء وأنت الباطن فليس دونك شىء" (رواه مسلم وغيـره)
Maknanya: "Engkau azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya),  tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah al Bathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu di bawah-Mu (H.R. Muslim dan lainnya). Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya berarti Dia tidak bertempat".
            Al Imam As-Sajjad Zain Al Abidin  Ali ibn Al Husain ibn Ali ibn Abi Thalib (38 H-94 H) berkata :
          "أنت الله الذي لا يحويك مكان". (رواه الحافظ الزبيدي)
"Engkaulah Allah yang tidak diliputi tempat". (Diriwayatkan oleh al Hafizh az-Zabidi dalam al Ithaf dengan rangkaian sanad muttashil mutasalsil yang kesemua perawinya adalah ahl al bayt; keturunan Rasulullah).
            Sedangkan ketika seseorang menengadahkan kedua tangannya ke arah langit ketika berdoa, hal ini tidak menandakan bahwa Allah berada di arah langit. Akan tetapi karena langit adalah kiblat berdoa dan merupakan tempat turunnya rahmat dan barakah. Sebagaimana apabila seseorang ketika melakukan shalat ia menghadap ka'bah. Hal ini tidak berarti bahwa Allah berada di dalamnya, akan tetapi karena ka'bah adalah kiblat shalat. Penjelasan seperti ini dituturkan oleh para ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah seperti al Imam al Mutawalli (W. 478 H) dalam kitabnya al Ghun-yah, al Imam al Ghazali (W. 505 H) dalam kitabnya Ihya 'Ulum ad-Din, al Imam an-Nawawi  (W. 676 H) dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim, al Imam Taqiyy ad-Din as-Subki (W. 756 H) dalam kitab as-Sayf ash-Shaqil dan masih banyak lagi.
            Al Imam Abu Ja'far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya-  (227-321 H)  berkata:
"تعالـى (يعني الله) عن الحدود والغايات والأركان والأعضاء والأدوات لا تحويه الجهات الست كسائر المبتدعات"
"Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut".
Perkataan al Imam Abu Ja'far ath-Thahawi di atas merupakan Ijma' (konsensus) para sahabat dan Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah). Diambil dalil dari perkataan tersebut bahwasanya bukanlah maksud dari mi'raj  bahwa Allah berada di arah atas lalu Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam naik ke atas untuk bertemu dengan-Nya, melainkan maksud mi'raj adalah memuliakan Rasulullah shalalllahu 'alayhi wasallam dan memperlihatkan kepadanya keajaiban makhluk Allah sebagaimana dijelaskan dalam al Qur'an surat al Isra ayat 1.
            Jadi, tidak boleh dikatakan Allah ada di satu tempat atau di mana-mana, juga tidak boleh dikatakan Allah ada di satu arah atau semua arah penjuru. al Imam Abu al Hasan al Asy'ari (W. 324 H) –semoga Allah meridlainya- berkata:
          "إن الله لا مكان له " (رواه البيهقي في الأسماء والصفات)
"Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat" (diriwayatkan oleh al Bayhaqi dalam al Asma wa ash-Shifat). Beliau juga mengatakan: "Tidak boleh dikatakan bahwa Allah ta'ala di satu tempat atau  di semua tempat". Perkataan al Imam al Asy'ari ini dinukil oleh al Imam Ibnu Furak (W. 406 H) dalam karyanya al Mujarrad. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya'rani (W. 973 H) dalam kitabnya al Yawaqiit Wa al Jawaahir menukil perkataan Syekh Ali al Khawwash: "Tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di mana-mana". Aqidah yang mesti diyakini bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat.
Perkataan al Imam at-Thahawi di atas juga merupakan bantahan terhadap pengikut paham Wahdah al Wujud yang berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-Nya atau pengikut paham Hulul yang berkeyakinan bahwa Allah menempati sebagian makhluk-Nya. Dan ini adalah kekufuran berdasarkan Ijma' (konsensus) kaum muslimin sebagaimana dikatakan oleh al Imam as-Suyuthi (W. 911 H) dalam karyanya al Hawi li al Fatawi dan lainnya, juga para panutan kita ahli tasawwuf sejati seperti al Imam al Junaid al Baghdadi (W. 297 H), al Imam Ahmad ar-Rifa'i (W. 578 H), Syekh Abdul Qadir al Jailani (W. 561 H) dan semua Imam tasawwuf sejati, mereka selalu memperingatkan masyarakat akan orang-orang yang berdusta sebagai pengikut tarekat tasawwuf dan meyakini aqidah Wahdah al Wujud dan Hulul.
Jadi keyakinan ummat Islam dari kalangan Salaf dan Khalaf bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah, bukan seperti keyakinan sebagian orang yang  menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas Arsy. Keyakinan ini adalah penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya, karena duduk adalah salah satu sifat manusia. Para ulama salaf bersepakat bahwa barangsiapa yang menyifati Allah dengan salah satu sifat di antara sifat-sifat manusia maka ia telah kafir.  Sebagaimana hal ini ditulis oleh Imam al Muhaddits as-Salafi ath-Thahawi (227 - 321 H) dalam kitab aqidahnya yang terkenal dengan nama (العقيدة الطحاوية), Beliau mengatakan:
" وَمَنْ وَصَفَ اللهَ بِمَعْنًى مِنْ مَعَانِي اْلبَشَرِ فَقَدْ كَفَر "
"Barang siapa mensifati Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia, maka ia telah kafir”.
Padahal telah diketahui bahwa beribadah kepada Allah (hanya) sah dilakukan oleh orang yang meyakini adanya Allah dan tidak menyerupakan-Nya dengan sesuatu apapun dari makhluk-Nya. Imam Al Ghazali berkata:   
                                                   "لا تصح العبادة إلا بعد معرفة المعبود"
“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (Allah) yang wajib disembah”.
Ini bisa dipahami karena beriman kepada Allah dengan benar adalah syarat diterimanya amal saleh seseorang,  tanpa beriman kepada Allah dengan benar maka bentuk-bentuk amal saleh apapun tidak akan diterima oleh Allah.

WASPADAILAH MUSYABBIHAH MASA KINI !
Untuk penjelasan lebih lanjut silahkan menghubungi
SYAHAMAH (Syabab Ahlussunnah Wal Jama'ah)
Jl. Buaran I, Jakarta Timur
Telp/Fax. (021) 8607431

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAHA SUCI ALLAH DARI TEMPAT, ARAH, BENTUK DAN UKURAN (HADD)

KISAH PERTEMUAN KH. KHOLILURRAHMAN (RA LILUR – CICIT MBAH KHOLIL BANGKALAN MADURA) DENGAN GURU MULIA, PROF. DR. AL-HABIB AL-SYAIKH SALIM ‘ALWAN AL-HUSAINI (KETUA DARUL FATWA AUSTRALIA)